Zero To Hero
“At The First You Make Habbits, At The Last Habbits Make You”
Ada sebuah gudang berisi 3 ton baja. Setiap 1 ton berharga 1 juta rupiah. Satu ton dibawa ke Jerman, dan diolah menjadi mobil BMW yang berharga 1 milyar rupiah. Baja yang 1 ton lagi dibawa ke Jepang dan diolah menjadi mobil Toyota seharga 500 juta rupiah. Kemudian sisa 1 ton yang ada dibawa ke perusahaan lokal di Indonesia tempat pengolahan cangkul, linggis, pisau, wajan, sekop dan lain-lain. Setelah selesai diolah dengan keras bermandikan keringat, jadilah alat-alat tadi seharga 1,5 juta rupiah.
Setelah BMW, Toyota dan cangkul serta sejenisnya tadi kembali dilebur menjadi baja, ternyata harganya kembali sama yaitu masing-masing berharga 1 juta rupiah.
Begitulah ilustrasi manusia, berangkat dari start yang sama dan bila mati menjadi tanah yang sama. Namun dalam hidupnya dan pemanfaatannya bisa jauh berbeda nilainya antara yang satu dengan yang lain. Tidak ada yang istimewa pada Imam Syafi’i, ia manusia biasa layaknya kita. Dilahirkan menangis, membutuhkan makan, istirahat dan lain-lain. Namun ia bisa menghafal Al Quran pada usia 9 tahun. Di usianya yang ke-10, isi kitab Al Muwatho’ karya Imam Malik yang berisi 1720 hadits pilihan sudah mampu dihafal dengan sempurna. Pada usia 15 tahun telah menduduki jabatan mufti (hakim agung) kota Mekah. Subhanallah. Tidak ada yang istimewa pada Ibnu Sina (Avicenna), ia bukan manusia super. Namun beliau selain menjadi penghafal Al Quran, juga menjadi seorang dokter dengan mempelajari ilmu kedokteran hanya dalam waktu 1 tahun saja, juga mampu menghasilkan kitab Al Qonun (Canon of Medicine) yang menjadi rujukan para dokter hingga saat ini. Demikian pula dengan Buya Hamka, yang juga manusia biasa layaknya kita, dan beliau telah menghasilkan karya kitab Tafsir Al Azhar yang monumental sewaktu beliau berada dalam penjara. Dr. W. Warsito, pria berusia tigapuluh tahunan, kelahiran pelosok Jawa Tengah, menemukan dan menggagas Volume Thopography CT Scan 4 Dimensi Real Time, yang kini menjadi rujukan para profesor dunia yang dulunya menjadi guru dan referensi ilmunya.
Manusia berasal dari tanah yang sama, namun berbeda-beda dalam melakukan percepatan diri. Nilai manusia itu tergantung bagaimana kita mengisi dan memperlakukan diri menjadi unggul dan berprestasi. ”Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu ialah orang yang paling takwa di antara kamu” (QS Al Hujurat (49): 13)
Mari kita bercermin dari kisah-kisah di atas, bagaimana TOKOH mengukir sejarahnya dan melakukan percepatan sehingga hidupnya selalu terisi dengan prestasi. Belajarlah dari kebiasaan orang-orang sukses. Berpikir sukses dan bekerja sukses, ubah kebiasaan negatif menjadi positif. Kita merindukan pahlawan, minimal buat diri kita sendiri. Itulah kerinduan yang menggugah jiwa untuk selalu berkarya dan mengharap surga sebagaimana yang diucapkan oleh Umar bin Abdul Aziz, “Sungguh aku memiliki jiwa perindu, ketika jiwa ini merindukan kepemimpinan, maka aku mendapatkannya. Ketika ia merindukan Khilafah, maka aku meraihnya, dan sekarang jiwa itu merindukan surga.”
1. Demi Masa
Rasulullah saw bersabda, “ Ada dua nikmat, di mana banyak orang tertipu dengan keduanya yaitu nikamt sehat dan waktu luang.” (HR Bukhori dari Ibnu Abbas)
Menurut Rasulullah, umur umatnya rata-rata sekitar 60 tahun. Waktu kita sama dalam sehari semalam yaitu 24 jam lamanya. Cara kita menggunakannyalah yang membuat kita berbeda. Imam Ghazali berkata, kalau orang umurnya 60 tahun dan menjadikan 8 jam sehari untuk tidur, maka dalam 60 tahun itu telah ia habiskan 20 tahunnya untuk tidur. Dan itulah kebanyakan manusia. Mengambil inspirasi dari hadits nabi dan hikmah Imam Al Ghazali, maka kunci dari semuanya adalah bagaimana memberdayakan waktu dan memberdayakan diri sehingga melahirkan ide-ide segar dan menghasilkan karya-karya besar.
2. Ubah Paradigma Lama
Kita orang biasa, tentu banyak kekurangan, kelemahan, kegagalan, kemalasan dan lain-lain. Ubah paradigma cara pandang kita, jangan menyalahkan keadaan, tetapi buatlah keadaan. Bila seorang pesimis berkata: “Masalah ini mungkin diselesaikan, tapi sulit,” maka optimislah dan katakan: “Masalah ini sulit, tapi mungkin.” Kuncinya adalah kreatifitas, berpikir luar ruang, mendobrak kebekuan dan melawan kebiasaan untuk mengatasi keadaan. Nabi Ya’qub telah mengajarkan kreatifitas bagi anak-anaknya, yaitu untuk memasuki Negeri Mesir tidak melalui satu pintu saja, tetapi melalui berbagai pintu.
“Dan Ya’qub berkata, “Hai anak-anakku, janganlah kalian bersama-sama masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang berlainan...” (QS. Yusuf 67)
3. Popularitas Bukanlah Jaminan
Masih ingat kisah kematian Nike Ardilla dalam kecelakaan yang disinyalir akibat over dosis narkotika? Namanya dipuja, lagunya melegenda. Tapi sayang banyak yang lupa pada ulama kharismatik Yogyakarta, KH AR Fachruddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah. Beliau wafat pada hari-hari itu juga, tetapi media tidak gempar memberitakannya. Presatasi hakiki bukanlah harta yang berlimpah, bukan kedudukan yang tinggi, jabatan mentereng, atau kekuasaan yang besar. Bisa jadi prestasi itu tidak dikenal orang, tidak ada pujian apalagi karangan bunga. Ada seorang wanita yang rajin membersihkan masjid, saat ia meninggal, berita kematiannya tidak disampaikan kepada Rasulullah. Ia tidak dianggap apa-apa, karena ia perempuan biasa tanpa prestasi yang berarti. Tetapi di mata Rasulullah, perempuan itu dihargai. Begitu Rasulullah mendapat kabar kematian perempuan ini, beliau minta ditunjukkan kuburnya lalu menyolati dan mendoakannya. Prestasinya sederhana tetapi luar biasa, rajin dan istiqomah membersihkan masjid.
4. Mereka Pun Pernah Gagal
Imam Al Ghazali adalah orang yang gemar mencatat semua ilmu yang ia dapatkan, hingga suatu saat ia dirampok dan hasil catatan ilmunya dirampas oleh perampok tersebut. Imam Ghazali bersikeras merebutnya kembali, tetapi perampok itu malah mencemoohnya. Masa mengandalkan ilmu hanya pada catatan bukan dari hafalan hati. Kegagalan inilah yang memacu dirinya untuk merubah cara belajarnya menjadi penghapal. Thomas Alfa Edison melakukan eksperimen listrik sebanyak 9999 kali dan belum berhasil, namun tetap ia lanjutkan hingga ia berhasil pada eksperimen yang ke 10.000. Ada kalanya halangan, rintangan yang kita anggap sebagai penyebab kegagalan, penyebab kesulitan kalau dapat kita kelola dengan baik justru akan menjadi cambuk dan kita akan mendapatkan kesuksesan karenanya. Jangan pernah menyangka bahwa seorang pahlawan selalu meraih prestasi-prestasinya dengan mulus atau bahkan tidak mengenal kegagalan. Kesulitan-kesulitan adalah rintangan yang diciptakan oleh sejarah dalam menuju kepahlawanan. Membebaskan kota Konstantinopel bukanlah pekerjaan mudah bagi seorang pemuda berusia 23 tahun setangguh Muhammad al Fatih Murad. Pembebasan pusat kekuasaan Imperium Romawi itu, kata orientalis Hamilton Gibb adalah sebuah mimpi delapan abad dari kaum Muslimin. Semua serangan gagal meruntuhkan perlawanan kota itu sepanjang abad-abad itu. Dan serangan-serangan awal Muhammad al Fatih Murad juga mengalami kegagalan. Kegagalan itu sama dengan kegagalannya sebagai pemimpin negara ketika pada usia 16 tahun ayahnya menyerahkan kekuasaan padanya. Tapi kemudian ternyata Muhammad al Fatih kemudian berhasil merebut kota itu.
Dan masih banyak kisah-kisah yang lain tentang kegegalan tokoh dunia sebelum akhirnya menggapai kesuksesan. Perlu kita sadari bahwa kegagalan dan kesuksesan adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Orang ingin sukses harus tahu bahwa ada saat-saat kegagalan. Yang penting bukan sekedar mencari jalan sukses, tetapi juga mengerti “apa yang menyebabkan kegagalan.” Bukan meratapi mengapa ini terjadi tetapi berpikir apa yang harus dilakukan untuk mengatasi.
Billy PS Lim, seorang motivator dunia pernah bertanya pada peserta trainingnya.”Mengapa orang akan tenggelam apabila jatuh ke dalam air?” Sebagian besar peserta menjawab, “Dia tidak berenang.” Namun Lim menyalahkan jawaban tersebut. Lalu Lim menerangkan ada juga orang yang tenggelam di air sedalam 3 inchi. Apakah tidak bisa berenang adalah penyebab tenggelamnya? Tentu saja tidak. Lim berkata, “Orang tenggelam karena ia menetap di situ dan tidak menggerakkan dirinya ke tempat lain.”
5. Jangan Menyerah –Belajar Dari Si Kecil
Barangkali kita sudah lupa, bagaimana awalnya sehingga saat ini kita bisa berjalan dengan kedua kaki kita. Mungkin kita juga lupa, bagaimana awalnya kita memasukkan pertama kali sebuah sendok berisi penuh makanan ke dalam mulut. Suapan pertama bukannya masuk ke dalam mulut, melainkan ke hidung atau mata.
Dulu kita adalah sesosok yang tidak kenal takut dan pantang menyerah, pada saat kita belajar berdiri, kita mencoba meraih apa saja yang akan membantu kita berdiri. Mencoba berdiri dan jatuh, mencoba lagi dan jatuh lagi. Tak bosan-bosannya kita mencoba berdiri dan berdiri. Kemudian kita bisa berdiri tegak, saat itu pula kita ingin lebih maju dan membuat perubahan dengan cara berpindah tempat dengan melangkahkan kaki. Ternyata berdiri dengan satu kaki sangat sulit, dan kita pun jatuh. Kita mengangis tetapi herannya, setelah reda, kita kembali berdiri dn mencoba melangkah lagi. Berkali-kali kita jatuh namun kita tidak juga jera. Sampai akhirnya kita berhasil melangkah. Ternyata melangkah pun belum memuaskan kita, lalu kita mencoba berlari. Demikianlah seterusnya sehingga kita bisa berdiri, berjalan dan berlari. Bayangkan apa jadinya jika jika saat bayi dulu kita sudah kenal kata menyerah, dan berhenti berusaha pada saat kagagalan kita yang pertama. Tentunya kita tidak akan bisa berdiri apalagi berjalan pada saat ini. Kalau dulu kita sanggup menjadi sosok-sosok tangguh, ke manakah keberanian itu sekarang?
1 komentar:
That's a good thing...
Posting Komentar
Pelipur Lara untuk Rihlatulillah